Suka - Suka Asik

Semua kumpulan analis pembahasan penyakit beserta Asuhan Keperawatan yang sering digunakan... Juga beberapa konten pengalaman menarik yang patut dijadikan bahan sharing buat temen-temen...

Minggu, 22 Desember 2013

HIPERPARATIROID


PROJECT BASED LEARNING (PJBL) 2
HIPERPARATIROID




1.     DEFINISI
Hiperparatiroid adalah akibat dari kelebihan produksi hormon paratiroid oleh kelenjar paratiroid dan ditandai dengan kalsifikasi tulang dan pembentukan batu ginjal yang mengandung kalsium (Baughman, Diane C. 2000).
Hiperparatiroid adalah gangguan mineralisasi tulang dan kelemahan otot yang disebabkan oleh tingginya kadar hormon paratiroid bersirkulasi. Biasanya peningkatan kadar hormon paratiroid disebabkan oleh tumor kelenjar paratiroid atau kelenjar lain. Akibat hormon paratiroid yang berlebihan, resorpsi tulang distimulasi sehingga kadar kalsium dalam serum tinggi. Kadar fosfat serum yang rendah menyertai kadar hormon paratiroid yang tinggi. Tulang menjadi rapuh dan lemah (Corwin, Elizabeth J. 2009).
Hiperparatiroid berarti peningkatan hormon paratiroid yang dapat mempengaruhi keseimbangan elektrolit, khususnya kalsium, magnesium dan fosfor.

2.     KLASIFIKASI
  1. Primary hiperparathyroidism (hiperparatiroidisme primer)
Kebanyakan pasien yang menderita hiperparatiroidisme primer mempunyai konsentrasi serum hormon paratiroid yang tinggi. Kebanyakan juga mempunyai konsentrasi serum kalsium yang tinggi, dan bahkan juga konsentrasi serum ion kalsium yang juga tinggi. Tes diagnostic yang paling penting untuk kelainan ini adalah menghitungserum hormone paratiroid dan ion kalsium.
  1. Secondary hyperparathyroidisme (hiperparatiroidisme sekunder)
Hiperparatiroidisme sekunder adalah produksi hormon paratiroid yang berlebihan karena rangsangan produksi yang tidak normal. Secara khusus, kelainan ini berkitan dengan gagal ginjal akut. Penyebab umum lainnya karena kekurangan vitamin D. Hipersekresi hormon paratiroid pada hiperparatiroidisme sekunder sebagai respons terhadap penurunan kadar kalsium terionisasi didalam serum.
Pada keadaan gagal ginjal, ada banyak factor yang merangsang produksi hormon paratiroid berlebih. Salah satu faktornya termasuk hipokalsemia, kekurangan produksi vitamin D karena penyakit ginjal, dan hiperpospatemia. Hiperpospatemia berperan penting dalam perkembangan hyperplasia paratiroid yang akhirnya akan meningkatkan produksi hormon paratiroid.
Produksi hormon paratiroid yang berlebih disertai dengan gagal ginjal dapat menyebabkan berbagai macam penyakit tulang, penyakit tulng yang sering terjadi adalah osteitis fibrosa cystica, suatu penyakit meningkatnya resorpsi tulang karena peningkatan kadar hormon paratiroid. Penyakit tulang lainnya juga sering terjadi pada pasien, tapi tidak muncul secara langsung.
Hiperparatiroidisme sekunder biasanya disertai dengan penurunan kadar kalsium serum yang normal atau sedikit menurun dengan kadar PTH tinggi dan fosfat serum rendah. Perubahan tulang disebabkan oleh konsentrasi PTH yang tinggi sama dengan pada hiperparatiroidisme primer. Beberapa pasien menunjukkan kadar kalsium serum tinggi dan dapat mengalami semua komplikasi ginjal, vaskular, neurologik yang disebabkan oleh hiperkalsemia.
  1. Hyperparathyroidism tersier (hiperparatiroidisme tersier)
Hiperparatiroidisme tersier adalah perkembangan dari hiperparatiroidisme sekunder yang telah diderita lama. Penyakit hiperparatiroidisme tersier ini ditandai dengan perkembangan hipersekresi hormon paratiroid karena hiperkalsemia.
Hiperparatiroidisme tersier paling umum diamati pada pasien penderita hiperparatiroidisme sekunder yang kronis dan yang telah menjalani cangkok ginjal. Kelenjar hipertrophied paratiroid gagal kembali menjadi normal dan terus mengeluarkan hormon paratiroid berlebih, meskipun kadar cairan kalsium masih dalam level normal atau bahkan berada diatas normal. Pada kasus ini, kelenjar hipertropid menjadi autonomi dan menyebabkan hiperkalsemia, bahkan setelah penekanan kadar kalsium dan terapi kalsitriol. Penyakit tipe ketiga ini sangat berbahaya karena kadar phosfat sering naik (Lawrence Kim, MD, 2005,section 5).

3.     EPIDEMIOLOGI
Prevalensi penyakit hiperparatiroid di Indonesia kurang lebih 1000 orang tiap tahunnya. Wanita yang berusia 50 tahun lebih, memiliki faktor risiko 2 kali lebih besar daripada pria. Di Amerika Serikat prevalensinya mencapai 100.000 orang diketahui terkena penyakit hiperparatiroid tiap tahunnya. Perbandingan wanita dan pria sekitar 2 banding 1. Pada wanita yang berusia 60 tahun lebih, sekitar 2 dari 10.000 bisa terkena hiperparatiroidisme. Hiperparatiroidisme primee merupakan salah satu dari 2 penyebab tersering hiperkalsemi, penyebab yang lain adalah keganasan. Kelainan ini dapat terjadi pada semua usia, tetapi yang tersering adalah pada dekade 6 dan wanita lebih sering 3 kali dibandingkan laki-laki.
Sekitar 85% dari kasus hiperparatiroid primer disebabkan oleh adenoma tunggal. Sedangkan 15% lainnya melibatkan berbagai kelenjar (contoh berbagai adenoma atau hyperplasia). Sedikit kasus hiperparatiroidisme utama disebabkan oleh paratiroid karsinoma (Smeltzer& Bare, 2002)

4.     ETIOLOGI
a.  Adenoma tunggal menjadi penyebab paling sering dari hiperparatiroid.
b.  Hiperplasia
c.   Adenoma multipel.
d.  Beberapa ahli bedah dan ahli patologis melaporkan bahwa pada kurang lebih 15% pasien, kelenjarnya mengalami hiperfungsi.
e.  Kanker menjadi penyebab yang jarang ditemui pada kasus hiperparatiroid.
f.    Hiperpospatemia.
g.  Hiperpospatemia berperan penting dalam perkembangan hyperplasia paratiroid yang akhirnya akan meningkatkan produksi hormon paratiroid (Brooker, Chris. 2008).

5.     FAKTOR RISIKO
Faktor yang dapat menyebabkan hiperparatiroid meliputi:
1)  hiperplasia paratiroid, adenoma atau karsinoma.
2)  Parathormon yang meningkat menyebabkan resorpsi tulang, ekskresi ginjal menurun dan absorpsi kalsium oleh usus meningkat.
3)  Perubahan pada tulang (osteitis fibrosa sistika), nefrokalsinosis atau nefrolitiasis, dan kalsifikasi kornea.
Penyebab umum lainnya karena kekurangan vitamin D. Hipersekresi hormon paratiroid pada hiperparatiroidisme sekunder sebagai respons terhadap penurunan kadar kalsium terionisasi didalam serum.
Pada keadaan gagal ginjal, ada banyak factor yang merangsang produksi hormon paratiroid berlebih. Salah satu faktornya termasuk hipokalsemia, kekurangan produksi vitamin D karena penyakit ginjal, dan hiperpospatemia. Hiperpospatemia berperan penting dalam perkembangan hyperplasia paratiroid yang akhirnya akan meningkatkan produksi hormon paratiroid (Lawrence Kim, MD, 2005,section 5).

6.     PATOFISIOLOGI (terlampir)

7.     MANIFESTASI KLINIS
Diagnosa hiperparatiroidisme atau hiperparatiroid sub-klinis agak sulit ditetapkan. Gejala klinis yang mungkin terjadi pada hiperparatiroid diantaranya adalah :
1.  cepat lelah
2.  otot menjadi lemah
3.  konstipasi
semua ini berkaitan dengan peningkatan kadar kalsium dalam darah.
4.  resorbsi kalisum dari tulang meningkat sehingga terjadi hiperkalsemia darah
5.  Hiperkalsemia darah dapat menyebabkan gangguan klinis sekunder
a.  Poliuria dan polidipsi
b.  Neprolithiasis ginjal. berkaitan dengan peningkatan ekskresi kalsium dan fosfor merupakan salah satu komplikasi hiperparatiroidisme primer. Kerusakan ginjal terjadi akibat presipitasi kalsium fosfat dalam pelvis da ginjal parenkim yang mengakibatkan batu ginjal (rena calculi), obstruksi, pielonefritis serta gagal ginjal.
c.   Pangkreatitis bahkan terjadi ulkus peptikum (Manuba, Manuba Chandranita, Manuba Fajar. 2007)
6.  Resorbsi kalsium tulang meningkat sehingga tulang mudah fraktur diberbagai tempat. Gejala muskuloskeletal yang menyertai hiperparatiroidisme dapat terjadi akibat demineralisasi tulang atau tumor tulang, yang muncul berupa sel-sel raksasa benigna akibat pertumbuhan osteoklast yang berlebihan. Pasien dapat mengalami nyeri skeletal dan nyeri tekan, khususnya di daerah punggung dan persendian; nyeri ketika menyangga tubuh; fraktur patologik; deformitas; dan pemendekkan badan. Kehilangan tulang yang berkaitan dengan hiperparatiroidisme merupakan faktor risiko terjadinya fraktur (Brunner & Suddath, 2001).
Gambaran Radiografis
Manifestasi awal hiperparatiroid adalah hilangnya lamina dura di sekitar akar gigi dengan perubahan pola trabecular rahang yang muncul kemudian. Terdapat penurunan densitas trabecular dan kaburnya pola normal yang menghasilkan penampakan ”ground glass” pada gambaran radiografiknya. Dengan menetapnya penyakit, lesi tulang lainnya muncul, seperti hiperparatiroid ”brown tumor”. Nama ini berasal dari warna spesimen jaringan yang mencolok, biasanya merah tua-coklat akibat perdarahan dan tumpukan hemosiderin dalam tumor. Gambaran radiografik menunjukkan lesi ini unilokuler atau multiloculer radiolusen yang berbatas tegas yang biasanya merusak mandibula, clavicula, iga, dan pelvis. Lesi ini soliter, namun lebih sering multipel. Lesi yang bertahan lama dapat mengakibatkan ekspansi cortical yang nyata. Secara histologik, lesi ini dicirikan sebagai proliferasi hebat jaringan granulasi vascular yang menjadi latar belakang timbulnya multi-nucleated osteoclast-type giant cells. Hal ini identik dengan lesi lain yang dikenal dengan lesi giant cell sentral pada rahang.
http://amaliagozali.files.wordpress.com/2011/03/picture3.jpg?w=140&h=150Gambar




Terjadi perubahan tulang yang meliputi hilangnya lamina dura, dikemukannya ‘ground glass’ pada pola trabekula, penipisan dari tulang kortikal di bagian inferior canalis dental.

http://amaliagozali.files.wordpress.com/2011/03/picture2.jpg?w=97&h=150




Pada periapikal terlihat gambaran radiolusen giant cell lesion (brown tumor) di antara insisivus bawah yang telah mengalami pergeseran (Smeltzer, Suzzanne C.2001)
8.     PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
Hiperparatiroidisme didiagnosis ketika tes menunjukkan tingginya level kalsium dalam darah disebabkan tingginya kadar hormone paratiroid. Penyakit lain dapat menyebabkan tingginya kadar kalsium dalam darah, tapi hanya hiperparatiroidisme yang menaikkan kadar kalsium karena terlalu banyak hormon paratiroid. Pemeriksaan radioimmunoassay untuk parathormon sangat sensitif dan dapat membedakan hiperparatiroidisme primer dengan penyebab hiperkalasemia lainnya.
Pemeriksaan antibodi ganda hormon paratiroid digunakan untuk membedakan hiperparatiroidisme primer dengan keganasan, yang dapat menyebabkan hiperkalsemia. Pemeriksaan USG, MRI, Pemindai thallium serta biopsi jarum halus telah digunakan untuk mengevaluasi fungsi paratiroid dan untuk menentukan lokasi kista, adenoma serta hiperplasia pada kelenjar paratiroid.
1.  Pemeriksaan Laboratorium
Tes darah mempermudah diagnosis hiperparatiroidisme karena menunjukkan penilaian yang akurat berapa jumlah hormon paratiroid. Sekali diagnosis didirikan, tes yang lain sebaiknya dilakukan untuk melihat adanya komplikasi. Karena tingginya kadar hormon paratiroid dapat menyebabkan kerapuhan tulang karena kekurangan kalsium, dan pada hiperparatiroid biasanya ditemukan:
a.  Kalsium serum meninggi
b.  Fosfat serum rendah
c.   Fosfatase alkali meninggi
d.  Kalsium dan fosfat dalam urin bertambah
2.  Foto Rontgen
Pemeriksaan ini bertujuan untuk melihat kemungkinan adanya klasifikasi tulang, penipisan dan osteoporosis, pada hiperparatiroid dapat ditemukan:
a.  Tulang menjadi tipis, ada dekalsifikasi
b.  Cystic-cystic dalam tulang
c.   Trabeculae di tulang
PA: osteoklas, osteoblast, dan jaringan fibreus bertambah
3.  Percobaan Kalsium intravena
Percobaan ini didasarkan pada anggapan bahwa bertambhanya kadar serum kalsium akan menekan pembentukan paratharmon. Normal bila pospor serum meningkat dan pospor diuresis berkurang. Pada hiperparatiroid, pospor serum dan pospor diuresis tidak banyak berubah.
4.  Pemeriksaan EKG
Pemeriksaan ini bertujuan untuk mengidentifikasi kelainan gambaran EKG akibat perubahan kadar kalsium terhadap otot jantung, biasanya pada hiperparatiroid ditemukan QT-interval mungkin normal.
5.  Pemeriksaan Elektromiogram (EMG)
Pemeriksaan ini bertujuan untuk mengidentifikasi perubahan kontraksi otot akibat perubahan kadar kalsium serum (Rumarhorbo, 1999).

9.     KOMPLIKASI
a.  peningkatan ekskresi kalsium dan fosfor
b.  Dehidrasi
c.   batu ginjal : Pembentukan batu pada salah satu atau kedua ginjal yang berkaitan dengan peningkatan ekskresi kalsium dan fosfor merupakan salah satu komplikasi hiperparatiroidisme yang penting dan terjadi pada 55% penderita hiperparatiroidisme primer
d.  Kerusakan ginjal terjadi akibat presipitasi kalsium fosfat dalam pelvis dan ginjal parenkim yang mengakibatkan batu ginjal (renal calculi), obstruksi, pielonefritis serta gagal ginjal.
e.  Hiperkalsemia : Krisis hiperkalsemia akut dapat terjadi pada hiperparatiroidisme. Keadaan ini terjadi pada kenaikan kadar kalsium serum yang ekstrim. Kadar yang melebihi 15 mg/dl (3,7mmol/L) akan mengakibatkan gejala neurologi, kardiovaskuler dan ginjal yang dapat membawa kematian.
f.    Osteoklastik
g.  osteitis fibrosa cystica adalah gangguan tulang yang disebabkan oleh surplus hormon paratiroid yang terlalu aktif dari kelenjar paratiroid. Produksi hormon paratiroid yang berlebih disertai dengan gagal ginjal dapat menyebabkan berbagai macam penyakit tulang, penyakit tulng yang sering terjadi adalah osteitis fibrosa cystica, suatu penyakit meningkatnya resorpsi tulang karena peningkatan kadar hormon paratiroid. Penyakit tulang lainnya juga sering terjadi pada pasien, tapi tidak muncul secara langsung (Ganong,1999).

10.  PENATALAKSANAAN MEDIS
Penatalaksanaan pada hiperparatiroid adalah :
1.    Tindakan bedah untuk mengangkat jaringan paratiriod yang abnormal.
Namun demikian, pada sebagian pasien yang asimtomatik disertai kenaikaan kadar kalsium serum ringan dan fungsi ginjal yang normal, pembedahan dapat ditunda dan keadaan pasien dipantau dengan cermat akan adanya kemungkinan bertambah parahnya hiperkalsemia, kemunduran kondisi tulang, gangguan ginjal atau pembentukan batu ginjal (renal calculi).
2.    Minum sebanyak 2000 ml cairan atau lebih
Dehidrasi karena gangguan pada ginjal mungkin terjadi, maka penderita hiperparatiroidisme primer dapat menderita penyakit batu ginjal. Karena itu, pasien dianjurkan untuk minum sebanyak 2000 ml cairan atau lebih untuk mencegah terbentuknya batu ginjal. Kepada pasien diuminta untuk melaporkan manifestasi batu ginjal yang lain seperti nyeri abdomen dan hemapturia.
3.    Mobilitas pasien
Dengan banyak berjalan atau penggunaan kursi goyang harus diupayakan sebanyak mungkin karena tulang yang mengalami stress normal akan melepaskan kalsium merupakan predisposisi terbentuknya batu ginjal.
4.    Pemberian fosfat per oral
Pemberian fosfat per oral menurunkan kadar kalsium serum pada sebagian pasien. Penggunaan jangka panjang tidak dianjurkan karena dapat mengakibatkan pengendapan ektopik kalsium fosfat dalam jaringan lunak.
5.    Diet dan obat-obatan.
Kebutuhan nutrisi harus dipenuhi meskipun pasien dianjurkan untuk menghindari diet kalsium terbatas atau kalsium berlebih. Karena anoreksia umum terjadi, peningkatan selera makan pasien harus diupayakan.
Penatalaksanaan untuk hiperkalsemia:
Penatalaksanaan tergantung kadar kalsium darah dan ada tidaknya gejala. Jika kadar kalsium <12 mg/dL, tanpa gejala, biasanya tidak perlu tindakan terapeutik. Jika kadar kalsium 12-14 mg/dL disertai gejala hiperkalsemia, diperlukan terapi agresif, tetapi jika tidak disertai gejala, cukup diterapi dengan hidrasi adekuat 3000 – 6000 mL cairan NaCl 0,9% pada 24 jam pertama. Perbaikan volume cairan ekstraseluler ke normal akan meningkatkan ekskresi kalsium urin sebesar 100-300mg/hari. Perbaikan gejala klinis, seperti status mental dan mual muntah tampak < 24 jam pertama. Namun rehidrasi merupakan terapi intervensi sementara dan jarang mencapai kadar normal jika digunakan sendiri. Jika terapi sitoreduktif definitif  (operasi, radiasi, atau kemoterapi) terhadap penyakit dasar tidak dilakukan, terapi hipokalsemik seharusnya digunakan dalam jangka lama untuk mencapai kontrol.
Setelah hidrasi tercapai, dengan kadar kalsium masih tinggi, dapat diberi loop diuretic (furosemide 20-40 mg/IV/2 jam). Loop diuretic akan bekerja menghambat reabsorpsi kalsium dan natrium di ansa Henle, meningkatkan ekskresi kalsium urin, juga natrium, kalium, klorida, magnesium, dan air. Penting memantau status hemodinamik secara intensif untuk mencegah kelebihan cairan dan dekompensasi jantung, dengan mengukur volume urin secara serial dan pemeriksaan elektrolit untuk mencegah kondisi yang dapat mengancam jiwa, seperti hipofosfatemia, hipokalemia, dan hipomagnesemia.
Terapi lain Hiperkalsemia
·         Glukokortikoid
Glukokortikoid mempunyai efek hipokalsemik terutama pada tumor-tumor yang respon terhadap steroid (limfoma dan mieloma) dan hiperkalsemia yang dihubungkan dengan peningkatan sintesis vitamin D atau peningkatan asupan (sarkoidosis dan hipervitaminosis D). Glukokortikoid meningkatkan ekskresi kalsium urin dan menghambat absorpsi kalsium gastrointestinal yang dimediasi vitamin D. Responsnya biasanya lambat 1 - 2 minggu. Hidrokortison oral (100- 300mg) atau glukokortikoid ekuivalen dapat diberikan per hari.
·         Fosfat
Terapi fosfat oral jangka panjang pada hiperkalsemia ringan sampai sedang efektivitasnya minimal. Dosis 250-375 mg empat kali sehari dapat menimbulkan efek samping minimal berupa diare. Terapi fosfat intravena merupakan salah satu modalitas terapi pada hiperkalsemia berat. Penurunan kalsium dapat terjadi secara cepat dalam beberapa menit. Dikontraindikasikan pada gangguan fungsi ginjal, normofosfatemia dan hiperfosfatemia.
·         Dialisis
Dialisis diindikasikan pada hiperkalsemia dengan gangguan fungsi ginjal atau yang mengancam jiwa, yang tidak respon dengan rehidrasi, kalsitonin dan diuresis. Dialisis dapat menurunkan konsentrasi kalsium serum 3-12 mg/dL. Hemodialisis dengan dialisat rendah kalsium lebih efektif dibandingkan peritoneal dialisis.
·         Bisfosfonat
Bisfosfonat merupakan terapi farmakologi paling efektif mengontrol hiperkalsemia; merupakan analog pirofosfat anorganik yang menghambat resorpsi tulang. Onsetnya lambat (2-3 hari) dengan durasi lama (beberapa minggu). Etidronat adalah bisfosfonat pertama yang dianjurkan pada terapi hiperkalsemia. Konsentrasi kalsium mulai turun setelah dua hari dan mencapai nadir pada hari ke tujuh. Efek hipokalsemik mungkin berlangsung lama sampai beberapa minggu. Jika kalsium serum cepat turun dalam 48 jam pertama, sebaiknya obat dihentikan untuk mencegah hipokalsemia. Dapat diberikan secara intravena dengan dosis 7,5mg/kgBB lebih dari 4 jam selama 3 hari berturut-turut. Pemberian intravena dengan dosis 30mg/kgBB dalam NaCl 0,9% selama 24 jam mungkin lebih efektif. Pamidronat lebih poten daripada etidronat. Diberikan dengan dosis 60-90 mg intravena selama 4 jam. Jika kadar kalsium 13,5 mg/dL, diberikan 60 mg dan jika >13,5 diberikan 90 mg. Konsentrasi kalsium serum umumnya turun dalam 2-4 hari. Dosis tunggal biasanya efektif selama 1-2 minggu. Umumnya kadar kalsium normal setelah tujuh hari terapi. Asam zolendronat acid merupakan bisfosfonat paling umum saat ini, karena dapat diberikan intravena sehingga mencegah kerusakan esofagus pada dosis oral dan mungkin efeknya lebih lama dibandingkan pamidronat. Dosis harus disesuaikan pada penderita disfungsi ginjalberdasarkan laju filtrasi glomerulus (LFG)nya. Jika LFG > 60 mL/mnt diberikan 4 mg, 50 - 60 mL/ mnt : 3,5 mg, 40 - 45 mL/mnt : 3,3 mg, 30 - 39 mL/mnt : 3 mg, dan jika <30 mL/mnt belum ada data. Dianjurkan menghentikan obat apabila terjadi peningkatan konsentrasi kreatinin serum ≥ 0,5 mg/dL di atas nilai normal atau > 1 mg/dL pada penderita dengan kreatinin serum ≥ 1,4 mg/dL. Bisfosfonat dihubungkan dengan toksisitas yang bermakna, meliputi sklerosis glomerulus fokal dengan pamidronat dan acute kidney injury dengan asam zolendronat. Toksisitas paling banyak pada penderita chronic kidney diseases sebelumnya atau melebihi dosis yang dianjurkan. Pemberian bisfosfonat jangka lama pada penderita keganasan khususnya multipel mieloma dan kanker payudara, dihubungkan dengan osteosklerosis rahang (Ginayah, 2011).

11.  ASUHAN KEPERAWATAN
A.   PENGKAJIAN
Tidak terdapat manifestasi yang jelas tentang hiperparatiroidisme dan hiperkalsemia resultan. Pengkajian keperawatan yang rinci mencakup :
1)    Riwayat kesehatan klien
a. Adanya riwayat ISK atau pernah Obstruksi batu
b. Makan dan Minum
c. Adanya riwayat klien mengkonsumsi makan/minuman diet tinggi kalsium/susu
d. Adanya riwayat Penyakit Ginjal
2) Riwayat penyakit dalam keluarga
3) Keluhan utama, antara lain :
a) Sakit kepala, kelemahan, lethargi dan kelelahan otot
b) Gangguan pencernaan seperti mual, muntah, anorexia, obstipasi, dan nyeri lambung yang akan disertai penurunan berat badan
c) Depresi
d) Nyeri tulang dan sendi.
4) Riwayat penyakit sekarang
Pasien tampak lemah,biasanya adanya peningkatan ukuran kelenjar tiroid, anoreksia, obstipasi, dan nyeri lambung yang akan disertai penurunan berat badan,Depresi,Nyeri tulang dan sendi.
5) Riwayat trauma/fraktur tulang
6) Riwayat radiasi daerah leher dan kepala
7) Pemeriksaan fisik yang mencakup :
a) Observasi dan palpasi adanya deformitas tulang
b) Amati warna kulit, apakah tampak pucat
c) Perubahan tingkat kesadaran
8) Bila kadar kalsium tetap tinggi, maka akan tampak tanda psikosis organik seperti bingung bahkan koma dan bila tidak ditangani kematian akan mengancam
9) Pemeriksaan penunjang, termasuk :
a) Pemeriksaan laboratorium : dilakukan untuk menentukan kadar kalsium dalam plasma yang merupakan pemeriksaan terpenting dalam menegakkan kondisi hiperparatiroidisme. Hasil pemeriksaan laboratorium pada hiperparatiroidisme primer akan ditemukan peningkatan kadar kalsium serum; kadar serum posfat anorganik menurun sementara kadar kalsium dan posfat urine meningkat.
b) Pemeriksaan radiologi, akan tampak penipisan tulang dan terbentuk kista dan trabekula pada tulang.


B.   ANALISA DATA
DATA
ETIOLOGI
MASALAH KEPERAWATAN
DO:
·  Adanya peningkatan kadar kalsium serum
·  Adanya deformitas pada tulang
DS:
·  klien sering mengeluhkan nyeri pada tulang
·  Klien mengatakan jarang melakukan olahraga

Meningkatnya sekresi hormone paratiroid
Hiperparatiroid
Resorpsi tulang
Pemecahan tulang oleh osteoclast
Pelepasan kalsium ke darah
Hiperkalsemia
Degenerasi tulang
Mudah fraktur
Risiko cedera
Risiko Cedera
DO:
·      kelemahan otot menurun, kekakuan pada ekstremitas, aktivitas dibantu keluarga dan perawat.
DS:
·      menyatakan merasa lemah, menyatakan merasa letih.

Meningkatnya sekresi hormone paratiroid
Hiperparatiroid
Resorpsi tulang
Pemecahan tulang oleh osteoclast
Pelepasan kalsium ke darah
Hiperkalsemia
kelemahan
Intoleransi aktivitas b.d kelemahan
DO :
·      Tekanan darah klien meningkat
DS :
·      Klien mengeluhkan sering buang air kecil
·      Klien mengatakan sebagai pengonsumsi susu berkalsium 
·      Klien mengatakan sering mangalami rasa haus
·      Klien mengeluhkan nyeri pada ginjal
·      Klien juga mengeluhkan  rasa lemah

Meningkatnya sekresi hormone paratiroid
Hiperparatiroid
Mengurangi klirens kalsium melalui ginjal
Insufisiensi renal
Poliuria
Dehidrasi
Kekurangan volume cairan
Kekurangan volume cairan b. d kehilangan cairan aktif
DO :
·      Nadi dan RR klien meningkat
·      Respon non verbal klien memperlihatkan respon nyeri
DS :
·      Klien mengeluh nyeri pada daerah perut
·      Lakukan pengukuran kualitas nyeri klien menggunakan skala nyeri
Meningkatnya sekresi hormone paratiroid
Hiperparatiroid
Reabsorbsi kalsium di usus
Ulkus peptikum
Nyeri lambung

Nyeri akut b.d agen cedera biologis

DO :
-
DS :
·      Klien menyatakan sering buang air kecil di malam hari
·      Klien menyatakan BAK tidak puas

Hiperparatiroid
¯
Pembentukan vit.D di ginjal dan rangsangan reabsorbsi kalsium di ginjal
¯
Penurunan ekskresi kalsium di ginjal
¯
Insufiensi ginjal
¯
nokturia

Gangguan eliminasi Urin


C.   INTERVENSI
1.    Risiko Cedera
Tujuan : Setelah dilakukan asuhan keperawatan 3x 24 jam resiko cedera pasien dapat terkontrol.
KH :
1.  Pengetahuan tentang resiko cedera yang dialami klien meningkat
2.  Klien mampu memodifikasi gaya hidup untuk mengurangi resiko cedera
3.  Klien mampu mengenali factor resiko cedera dari lingkungan
4.  Serum Ca dalam batas normal (8.4-10.2 mg/dL atau 2.1-2.8 mmol/L)
Intervensi :
1.  Monitor hasil lab serum kalsium klien
2.  Anjurkan untuk keluarga selalu menemani pasien
3.  Pasang siderail tempat tidur
4.  Berikan penjelasan pada pasien dan keluarga tentang perubahan status kesehatan dan penyebab dari penyakitnya
5.  Diskusikan dengan klien mengenai kondisi yang dapat mengakibatkan cedera
6.  Hindarkan klien dari lingkungan yang berbahaya.( Misalnya jangan member klien kamar tidur dilantai 2 rumah).
7.  Ajarkan klien untuk menghindari agen cedera
8.  Beri penerangan yang cukup bila klien berada dalam suatu ruangan
9.  Pindahkan barang- barang  berbahaya yang dapat meningkatkan resiko cedera. (misalnya jangan meletakan kursi disembarang tempat)
10.         Kolaborasi dengan ahli gizi mengenai asupan makanan dan minuman yang dianjurkan
11.         Kolaborasi dengan dokter terkait terapi farmakologi
12.         Monitor pemberian terapi farmakologi

2.    Intoleransi aktivitas b.d kelemahan
Tujuan: setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 4x24 jam, toleransi aktivitas klien akan meningkat.
KH: - Menunjukkan kebiasaan rutin
-   Klien dapat beraktivitas secara mandiri
Intervensi:
-       Tingkatkan pelaksanaan ROM pasif sesuai indikasi untuk mengurangi ketegangan otot
-       Bantu klien untuk mengidentifikasi pilihan-pilihan aktivitas
-       Buat jadwal latihan aktivitas secara bertahap untuk klien dan berikan periode istirahat
-       Kolaborasikan ahli fisioterapi
-       Berikan support dan libatkan keluarga dalam program terapi
-       Monitor lokasi nyeri selama aktivitas
-       Batasi stimulus lingkungan
-       Batasi pengunjung

3.    Kekurangan volume cairan b.d kehilangan cairan aktif
Tujuan :
Setelah dilakukan asuhan keperawatan selama 1x24 jam kebutuhan cairan atau hidrasi pasien terpenuhi
KH :
1.    Tidak ada tanda tanda dehidrasi (elastisitas turgor kulit baik, membran mukosa lembab, tidak ada rasa haus yang berlebihan)
2.    TTV dalam batas normal (TD: 100/60-120/90 mmHg, Nadi 80-100x/mnt, RR 16-20x/mnt, suhu 36,50C-37,50C)
No
Indikator
1
2
3
4
5
1
Membran mukosa lembab



ü   

2
Turgor kulit baik



ü   

3
Rasa haus berkuranng



ü   

4
TTV dalam batas normal



ü   

Keterangan
1 = Severe
2 = substantially
3 = Moderately
4 = Mild
5 = No

Intervensi :
1.  Kolaborasikan pemberian cairan intarvena
2.  Pertahankan catatan intake dan output cairan yang akurat
3.  Monitor masukan makanan dan cairan dan hitung intake kalori harian
4.  Monitor vital sign (tekanan darah) klien secara adekuat
5.  Catat adanya perubahan dari tekanan darah
6.  Pantau perubahan tanda-tanda vital (TD, nadi, suhu, RR).
7.  Monitor pengisian kapiler (CRT ≤3 dtk)
8.  Monitor status hidrasi: turgor kulit (pitting edema) dan membran mukosa (inspeksi)

3.  Nyeri akut b.d agen cedera biologis
Tujuan :
setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1x24 jam nyeri yang dirasakan klien berkurang
KH:
1.    Klien mengatakan nyerinya berkurang
2.    Ekspresi klien menunjukkan nyeri berkurang
3.    TTV dalam batas normal (TD: 100/60-120/90 mmHg, Nadi 80-100x/mnt, RR 16-20x/mnt, suhu 36,50C-37,50C)

NO
INDIKATOR
1
2
3
4
5
 1
Reported pain



ü   

2
Respiratory rate



ü   

3
Facial expression of pain



ü   

4
Radial pulse rate



ü   





Keterangan :
1.    Severe
2.    Substantial
3.    Moderate
4.    Mild
5.    None
Intervensi:
1.    Gunakan teknik komunikasi terapeutik untuk mengetahui pengalaman nyeri pasien
2.    Observasi reaksi nonverbal dari ketidaknyamanan
3.    Monitor perkembangan nyeri (meliputi lokasi, karakteristik, durasi, frekuensi, kualitas dan factor resipitasi)
4.    Monitor TTV
5.    Kontrol lingkungan yang dapat menpengaruhi nyeri seperti suhu ruangan, pencahayaan dan kebisingan
6.    Kurangi faktor presipitasi  yg meningkatkan  nyeri
7.    Kolaborasi pemberian analgesik untuk mengurangi nyeri
8.    Tentukan analgetik pilihan, rute pemberian dan dosis optimal.
9.    Monitor TTV sebelum dan sesudah pemberian analgetik.
10. Ajarkan teknik non farmakologis untuk mengurangi nyeri (kompres hangat, masase, dan spiritual)
11. Minta keluarga untuk memberikan support pada klien
12. Tingkatkan istirahat
13. Evaluasi keefektifan control nyeri

4.  Gangguan eliminasi Urin

Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3 x24 jam diharapakan pola eliminasi urin klien normal
KH:
1.  Kandung kemih kosong secara penuh
2.  Tidak ada residu urin > 100-200cc
3.  Intake cairan dalam rentang normal
Intervensi:
1.  Monitor tanda-tanda vital
2.  Monitor intake dan output
3.  Monitor derajat distensi bladder
4.  Instruksikan pada klien dan keluarga untuk mencatat output urin
5.  Pertahankan catatan intake dan output yang akurat
6.  Kolaborasikan penggunaan katerisasi jika perlu



DAFTAR PUSTAKA

Baughman, Diane C. 2000. Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta: EGC
Brooker, Chris. 2008. Ensiklopedia Keperawatan. Jakarta: EGC
Corwin, Elizabeth J. 2009. Patofisiologi : Buku Saku. Edisi 3. Jakarta: EGC
Essentials of Dental Radiography and Radiology 3rd Edition, Eric Whaites.
Ganong.1998.Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Jakarta: EGC
Ginayah, Mir’atul dan Harsinen Sanusi. 2011. Hiperkalsemia. Continuing Medical Education. CDK 184/Vol.38 no.3/April 201. Subbagian Endokrinologi & Metabolik Bagian Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin/ Rumah Sakit Dr Wahidin Sudirohusodo, Makassar, Sulawesi Selatan, Indonesia
Kozier, et al.1993. Fundamental of nursing. California: Addison-Wesley Publishing Company
Manuba, Manuba Chandranita, Manuba Fajar. 2007. Pengantar Kuliah Obstetri. Jakarta : EGC
Rumahorbor, Hotma.1999. Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan Sistem Endokrin.Jakarta:EGC.
Smeltzer, Suzzanne C.2001. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner & Suddarth Ed.8.Jakarta: EGC.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar