PROJECT BASED LEARNING (PJBL) 2
HIPERPARATIROID
1.
DEFINISI
Hiperparatiroid
adalah akibat dari kelebihan produksi hormon paratiroid oleh kelenjar
paratiroid dan ditandai dengan kalsifikasi tulang dan pembentukan batu ginjal
yang mengandung kalsium (Baughman, Diane C. 2000).
Hiperparatiroid
adalah gangguan mineralisasi tulang dan kelemahan otot yang disebabkan oleh
tingginya kadar hormon paratiroid bersirkulasi. Biasanya peningkatan kadar
hormon paratiroid disebabkan oleh tumor kelenjar paratiroid atau kelenjar lain.
Akibat hormon paratiroid yang berlebihan, resorpsi tulang distimulasi sehingga
kadar kalsium dalam serum tinggi. Kadar fosfat serum yang rendah menyertai
kadar hormon paratiroid yang tinggi. Tulang menjadi rapuh dan lemah (Corwin,
Elizabeth J. 2009).
Hiperparatiroid
berarti peningkatan hormon paratiroid yang dapat mempengaruhi keseimbangan
elektrolit, khususnya kalsium, magnesium dan fosfor.
2.
KLASIFIKASI
- Primary hiperparathyroidism (hiperparatiroidisme primer)
Kebanyakan
pasien yang menderita hiperparatiroidisme primer mempunyai konsentrasi serum
hormon paratiroid yang tinggi. Kebanyakan juga mempunyai konsentrasi serum
kalsium yang tinggi, dan bahkan juga konsentrasi serum ion kalsium yang juga
tinggi. Tes diagnostic yang paling penting untuk kelainan ini adalah
menghitungserum hormone paratiroid dan ion kalsium.
- Secondary hyperparathyroidisme (hiperparatiroidisme sekunder)
Hiperparatiroidisme
sekunder adalah produksi hormon paratiroid yang berlebihan karena rangsangan
produksi yang tidak normal. Secara khusus, kelainan ini berkitan dengan gagal
ginjal akut. Penyebab umum lainnya karena kekurangan vitamin D. Hipersekresi
hormon paratiroid pada hiperparatiroidisme sekunder sebagai respons terhadap
penurunan kadar kalsium terionisasi didalam serum.
Pada
keadaan gagal ginjal, ada banyak factor yang merangsang produksi hormon
paratiroid berlebih. Salah satu faktornya termasuk hipokalsemia, kekurangan
produksi vitamin D karena penyakit ginjal, dan hiperpospatemia. Hiperpospatemia
berperan penting dalam perkembangan hyperplasia paratiroid yang akhirnya akan
meningkatkan produksi hormon paratiroid.
Produksi
hormon paratiroid yang berlebih disertai dengan gagal ginjal dapat menyebabkan
berbagai macam penyakit tulang, penyakit tulng yang sering terjadi adalah
osteitis fibrosa cystica, suatu penyakit meningkatnya resorpsi tulang karena
peningkatan kadar hormon paratiroid. Penyakit tulang lainnya juga sering
terjadi pada pasien, tapi tidak muncul secara langsung.
Hiperparatiroidisme
sekunder biasanya disertai dengan penurunan kadar kalsium serum yang normal
atau sedikit menurun dengan kadar PTH tinggi dan fosfat serum rendah. Perubahan
tulang disebabkan oleh konsentrasi PTH yang tinggi sama dengan pada
hiperparatiroidisme primer. Beberapa pasien menunjukkan kadar kalsium serum
tinggi dan dapat mengalami semua komplikasi ginjal, vaskular, neurologik yang
disebabkan oleh hiperkalsemia.
- Hyperparathyroidism tersier (hiperparatiroidisme tersier)
Hiperparatiroidisme
tersier adalah perkembangan dari hiperparatiroidisme sekunder yang telah
diderita lama. Penyakit hiperparatiroidisme tersier ini ditandai dengan
perkembangan hipersekresi hormon paratiroid karena hiperkalsemia.
Hiperparatiroidisme
tersier paling umum diamati pada pasien penderita hiperparatiroidisme sekunder
yang kronis dan yang telah menjalani cangkok ginjal. Kelenjar hipertrophied
paratiroid gagal kembali menjadi normal dan terus mengeluarkan hormon paratiroid
berlebih, meskipun kadar cairan kalsium masih dalam level normal atau bahkan
berada diatas normal. Pada kasus ini, kelenjar hipertropid menjadi autonomi dan
menyebabkan hiperkalsemia, bahkan setelah penekanan kadar kalsium dan terapi
kalsitriol. Penyakit tipe ketiga ini sangat berbahaya karena kadar phosfat
sering naik (Lawrence
Kim, MD, 2005,section 5).
3.
EPIDEMIOLOGI
Prevalensi
penyakit hiperparatiroid di Indonesia kurang lebih 1000 orang tiap tahunnya.
Wanita yang berusia 50 tahun lebih, memiliki faktor risiko 2 kali lebih besar
daripada pria. Di Amerika Serikat prevalensinya mencapai 100.000 orang
diketahui terkena penyakit hiperparatiroid tiap tahunnya. Perbandingan wanita
dan pria sekitar 2 banding 1. Pada wanita yang berusia 60 tahun lebih, sekitar 2
dari 10.000 bisa terkena hiperparatiroidisme. Hiperparatiroidisme primee
merupakan salah satu dari 2 penyebab tersering hiperkalsemi, penyebab yang lain
adalah keganasan. Kelainan ini dapat terjadi pada semua usia, tetapi yang
tersering adalah pada dekade 6 dan wanita lebih sering 3 kali dibandingkan
laki-laki.
Sekitar
85% dari kasus hiperparatiroid primer disebabkan oleh adenoma tunggal.
Sedangkan 15% lainnya melibatkan berbagai kelenjar (contoh berbagai adenoma
atau hyperplasia). Sedikit kasus hiperparatiroidisme utama disebabkan oleh
paratiroid karsinoma (Smeltzer& Bare, 2002)
4.
ETIOLOGI
a. Adenoma
tunggal menjadi penyebab paling sering dari hiperparatiroid.
b. Hiperplasia
c. Adenoma
multipel.
d. Beberapa
ahli bedah dan ahli patologis melaporkan bahwa pada kurang lebih 15% pasien,
kelenjarnya mengalami hiperfungsi.
e. Kanker
menjadi penyebab yang jarang ditemui pada kasus hiperparatiroid.
f. Hiperpospatemia.
g. Hiperpospatemia berperan penting dalam perkembangan
hyperplasia paratiroid yang akhirnya akan meningkatkan produksi hormon
paratiroid (Brooker, Chris. 2008).
5.
FAKTOR
RISIKO
Faktor
yang dapat menyebabkan hiperparatiroid meliputi:
1) hiperplasia
paratiroid, adenoma atau karsinoma.
2) Parathormon
yang meningkat menyebabkan resorpsi tulang, ekskresi ginjal menurun dan
absorpsi kalsium oleh usus meningkat.
3) Perubahan
pada tulang (osteitis fibrosa sistika), nefrokalsinosis atau nefrolitiasis, dan
kalsifikasi kornea.
Penyebab
umum lainnya karena kekurangan vitamin D. Hipersekresi hormon paratiroid pada
hiperparatiroidisme sekunder sebagai respons terhadap penurunan kadar kalsium
terionisasi didalam serum.
Pada
keadaan gagal ginjal, ada banyak factor yang merangsang produksi hormon
paratiroid berlebih. Salah satu faktornya termasuk hipokalsemia, kekurangan
produksi vitamin D karena penyakit ginjal, dan hiperpospatemia. Hiperpospatemia
berperan penting dalam perkembangan hyperplasia paratiroid yang akhirnya akan
meningkatkan produksi hormon paratiroid (Lawrence Kim, MD, 2005,section 5).
6.
PATOFISIOLOGI
(terlampir)
7.
MANIFESTASI
KLINIS
Diagnosa hiperparatiroidisme atau
hiperparatiroid sub-klinis agak sulit ditetapkan. Gejala klinis yang mungkin
terjadi pada hiperparatiroid diantaranya adalah :
1. cepat lelah
2. otot menjadi lemah
3. konstipasi
semua ini
berkaitan dengan peningkatan kadar kalsium dalam darah.
4. resorbsi kalisum dari tulang meningkat
sehingga terjadi hiperkalsemia darah
5. Hiperkalsemia darah dapat menyebabkan
gangguan klinis sekunder
a. Poliuria dan polidipsi
b. Neprolithiasis ginjal. berkaitan
dengan peningkatan ekskresi kalsium dan fosfor merupakan salah satu komplikasi
hiperparatiroidisme primer. Kerusakan ginjal terjadi akibat presipitasi kalsium
fosfat dalam pelvis da ginjal parenkim yang mengakibatkan batu ginjal (rena
calculi), obstruksi, pielonefritis serta gagal ginjal.
c. Pangkreatitis bahkan terjadi ulkus
peptikum (Manuba, Manuba
Chandranita, Manuba Fajar. 2007)
6. Resorbsi
kalsium tulang meningkat sehingga tulang mudah fraktur diberbagai tempat. Gejala muskuloskeletal yang
menyertai hiperparatiroidisme dapat terjadi akibat demineralisasi tulang atau
tumor tulang, yang muncul berupa sel-sel raksasa benigna akibat pertumbuhan
osteoklast yang berlebihan. Pasien dapat mengalami nyeri skeletal dan nyeri
tekan, khususnya di daerah punggung dan persendian; nyeri ketika menyangga
tubuh; fraktur patologik; deformitas; dan pemendekkan badan. Kehilangan tulang
yang berkaitan dengan hiperparatiroidisme merupakan faktor risiko terjadinya
fraktur (Brunner & Suddath, 2001).
Gambaran Radiografis
Manifestasi awal hiperparatiroid
adalah hilangnya lamina dura di sekitar akar gigi dengan perubahan pola
trabecular rahang yang muncul kemudian. Terdapat penurunan densitas trabecular
dan kaburnya pola normal yang menghasilkan penampakan ”ground glass” pada
gambaran radiografiknya. Dengan menetapnya penyakit, lesi tulang lainnya
muncul, seperti hiperparatiroid ”brown
tumor”. Nama ini berasal dari warna spesimen jaringan yang
mencolok, biasanya merah tua-coklat akibat perdarahan dan tumpukan hemosiderin
dalam tumor. Gambaran radiografik menunjukkan lesi ini unilokuler atau
multiloculer radiolusen yang berbatas tegas yang biasanya merusak mandibula,
clavicula, iga, dan pelvis. Lesi ini soliter, namun lebih sering multipel. Lesi
yang bertahan lama dapat mengakibatkan ekspansi cortical yang nyata. Secara
histologik, lesi ini dicirikan sebagai proliferasi hebat jaringan granulasi
vascular yang menjadi latar belakang timbulnya multi-nucleated osteoclast-type giant cells.
Hal ini identik dengan lesi lain yang dikenal dengan lesi giant cell sentral pada
rahang.
Terjadi perubahan tulang
yang meliputi hilangnya lamina dura, dikemukannya ‘ground glass’ pada pola
trabekula, penipisan dari tulang kortikal di bagian inferior canalis dental.
Pada
periapikal terlihat gambaran radiolusen giant cell lesion (brown tumor) di
antara insisivus bawah yang telah mengalami pergeseran (Smeltzer,
Suzzanne C.2001)
8.
PEMERIKSAAN
DIAGNOSTIK
Hiperparatiroidisme didiagnosis ketika tes
menunjukkan tingginya level kalsium dalam darah disebabkan tingginya kadar
hormone paratiroid. Penyakit lain dapat menyebabkan tingginya kadar kalsium
dalam darah, tapi hanya hiperparatiroidisme yang menaikkan kadar kalsium karena
terlalu banyak hormon paratiroid. Pemeriksaan radioimmunoassay untuk
parathormon sangat sensitif dan dapat membedakan hiperparatiroidisme primer
dengan penyebab hiperkalasemia lainnya.
Pemeriksaan antibodi ganda hormon paratiroid
digunakan untuk membedakan hiperparatiroidisme primer dengan keganasan, yang
dapat menyebabkan hiperkalsemia. Pemeriksaan USG, MRI, Pemindai thallium serta
biopsi jarum halus telah digunakan untuk mengevaluasi fungsi paratiroid dan
untuk menentukan lokasi kista, adenoma serta hiperplasia pada kelenjar
paratiroid.
1. Pemeriksaan Laboratorium
Tes darah mempermudah diagnosis
hiperparatiroidisme karena menunjukkan penilaian yang akurat berapa jumlah
hormon paratiroid. Sekali diagnosis didirikan, tes yang lain sebaiknya
dilakukan untuk melihat adanya komplikasi. Karena tingginya kadar hormon
paratiroid dapat menyebabkan kerapuhan tulang karena kekurangan kalsium, dan
pada hiperparatiroid biasanya ditemukan:
a. Kalsium serum meninggi
b. Fosfat serum rendah
c. Fosfatase alkali meninggi
d. Kalsium dan fosfat dalam urin bertambah
2. Foto Rontgen
Pemeriksaan
ini bertujuan untuk melihat kemungkinan adanya klasifikasi tulang, penipisan
dan osteoporosis, pada hiperparatiroid dapat ditemukan:
a. Tulang menjadi tipis, ada dekalsifikasi
b. Cystic-cystic dalam tulang
c. Trabeculae di tulang
PA:
osteoklas, osteoblast, dan jaringan fibreus bertambah
3. Percobaan Kalsium intravena
Percobaan
ini didasarkan pada anggapan bahwa bertambhanya kadar serum kalsium akan
menekan pembentukan paratharmon. Normal bila pospor serum meningkat dan pospor
diuresis berkurang. Pada hiperparatiroid, pospor serum dan pospor diuresis
tidak banyak berubah.
4. Pemeriksaan EKG
Pemeriksaan
ini bertujuan untuk mengidentifikasi kelainan gambaran EKG akibat perubahan
kadar kalsium terhadap otot jantung, biasanya pada hiperparatiroid ditemukan
QT-interval mungkin normal.
5. Pemeriksaan Elektromiogram (EMG)
Pemeriksaan
ini bertujuan untuk mengidentifikasi perubahan kontraksi otot akibat perubahan
kadar kalsium serum (Rumarhorbo, 1999).
9.
KOMPLIKASI
a.
peningkatan
ekskresi kalsium dan fosfor
b.
Dehidrasi
c. batu ginjal : Pembentukan batu pada salah satu
atau kedua ginjal yang berkaitan dengan peningkatan ekskresi kalsium dan fosfor
merupakan salah satu komplikasi hiperparatiroidisme yang penting dan terjadi
pada 55% penderita hiperparatiroidisme primer
d. Kerusakan ginjal terjadi akibat presipitasi
kalsium fosfat dalam pelvis dan ginjal parenkim yang mengakibatkan batu ginjal
(renal calculi), obstruksi, pielonefritis serta gagal ginjal.
e. Hiperkalsemia : Krisis hiperkalsemia akut
dapat terjadi pada hiperparatiroidisme. Keadaan ini terjadi pada kenaikan kadar
kalsium serum yang ekstrim. Kadar yang melebihi 15 mg/dl (3,7mmol/L) akan
mengakibatkan gejala neurologi, kardiovaskuler dan ginjal yang dapat membawa
kematian.
f.
Osteoklastik
g. osteitis fibrosa cystica adalah gangguan
tulang yang disebabkan oleh surplus hormon paratiroid yang terlalu aktif dari
kelenjar paratiroid. Produksi hormon paratiroid yang berlebih disertai dengan
gagal ginjal dapat menyebabkan berbagai macam penyakit tulang, penyakit tulng yang
sering terjadi adalah osteitis fibrosa cystica, suatu penyakit meningkatnya
resorpsi tulang karena peningkatan kadar hormon paratiroid. Penyakit tulang
lainnya juga sering terjadi pada pasien, tapi tidak muncul secara langsung (Ganong,1999).
10. PENATALAKSANAAN MEDIS
Penatalaksanaan pada hiperparatiroid adalah :
1. Tindakan bedah
untuk mengangkat jaringan paratiriod yang abnormal.
Namun demikian,
pada sebagian pasien yang asimtomatik disertai kenaikaan kadar kalsium serum
ringan dan fungsi ginjal yang normal, pembedahan dapat ditunda dan keadaan
pasien dipantau dengan cermat akan adanya kemungkinan bertambah parahnya
hiperkalsemia, kemunduran kondisi tulang, gangguan ginjal atau pembentukan batu
ginjal (renal calculi).
2. Minum sebanyak
2000 ml cairan atau lebih
Dehidrasi
karena gangguan pada ginjal mungkin terjadi, maka penderita hiperparatiroidisme
primer dapat menderita penyakit batu ginjal. Karena itu, pasien dianjurkan
untuk minum sebanyak 2000 ml cairan atau lebih untuk mencegah terbentuknya batu
ginjal. Kepada pasien diuminta untuk melaporkan manifestasi batu ginjal yang
lain seperti nyeri abdomen dan hemapturia.
3. Mobilitas
pasien
Dengan banyak
berjalan atau penggunaan kursi goyang harus diupayakan sebanyak mungkin karena
tulang yang mengalami stress normal akan melepaskan kalsium merupakan
predisposisi terbentuknya batu ginjal.
4. Pemberian
fosfat per oral
Pemberian
fosfat per oral menurunkan kadar kalsium serum pada sebagian pasien. Penggunaan
jangka panjang tidak dianjurkan karena dapat mengakibatkan pengendapan ektopik
kalsium fosfat dalam jaringan lunak.
5. Diet dan
obat-obatan.
Kebutuhan nutrisi harus dipenuhi meskipun pasien
dianjurkan untuk menghindari diet kalsium terbatas atau kalsium berlebih.
Karena anoreksia umum terjadi, peningkatan selera makan pasien harus
diupayakan.
Penatalaksanaan untuk hiperkalsemia:
Penatalaksanaan
tergantung kadar kalsium darah dan ada tidaknya gejala. Jika kadar kalsium <12
mg/dL, tanpa gejala, biasanya tidak perlu tindakan terapeutik. Jika kadar
kalsium 12-14 mg/dL disertai gejala hiperkalsemia, diperlukan terapi agresif,
tetapi jika tidak disertai gejala, cukup diterapi dengan hidrasi adekuat 3000 –
6000 mL cairan NaCl 0,9% pada 24 jam pertama. Perbaikan volume cairan
ekstraseluler ke normal akan meningkatkan ekskresi kalsium urin sebesar
100-300mg/hari. Perbaikan gejala klinis, seperti status mental dan mual muntah
tampak < 24 jam pertama. Namun rehidrasi merupakan terapi intervensi
sementara dan jarang mencapai kadar normal jika digunakan sendiri. Jika terapi
sitoreduktif definitif (operasi,
radiasi, atau kemoterapi) terhadap penyakit dasar tidak dilakukan, terapi
hipokalsemik seharusnya digunakan dalam jangka lama untuk mencapai kontrol.
Setelah
hidrasi tercapai, dengan kadar kalsium masih tinggi, dapat diberi loop diuretic
(furosemide 20-40 mg/IV/2 jam). Loop diuretic akan bekerja menghambat
reabsorpsi kalsium dan natrium di ansa Henle, meningkatkan ekskresi kalsium urin,
juga natrium, kalium, klorida, magnesium, dan air. Penting memantau status
hemodinamik secara intensif untuk mencegah kelebihan cairan dan dekompensasi
jantung, dengan mengukur volume urin secara serial dan pemeriksaan elektrolit
untuk mencegah kondisi yang dapat mengancam jiwa, seperti hipofosfatemia,
hipokalemia, dan hipomagnesemia.
Terapi lain
Hiperkalsemia
·
Glukokortikoid
Glukokortikoid
mempunyai efek hipokalsemik terutama pada tumor-tumor yang respon terhadap
steroid (limfoma dan mieloma) dan hiperkalsemia yang dihubungkan dengan
peningkatan sintesis vitamin D atau peningkatan asupan (sarkoidosis dan
hipervitaminosis D). Glukokortikoid meningkatkan ekskresi kalsium urin dan
menghambat absorpsi kalsium gastrointestinal yang dimediasi vitamin D. Responsnya
biasanya lambat 1 - 2 minggu. Hidrokortison oral (100- 300mg) atau
glukokortikoid ekuivalen dapat diberikan per hari.
·
Fosfat
Terapi
fosfat oral jangka panjang pada hiperkalsemia ringan sampai sedang
efektivitasnya minimal. Dosis 250-375 mg empat kali sehari dapat menimbulkan
efek samping minimal berupa diare. Terapi fosfat intravena merupakan salah satu
modalitas terapi pada hiperkalsemia berat. Penurunan kalsium dapat terjadi
secara cepat dalam beberapa menit. Dikontraindikasikan pada gangguan fungsi
ginjal, normofosfatemia dan hiperfosfatemia.
·
Dialisis
Dialisis
diindikasikan pada hiperkalsemia dengan gangguan fungsi ginjal atau yang
mengancam jiwa, yang tidak respon dengan rehidrasi, kalsitonin dan diuresis.
Dialisis dapat menurunkan konsentrasi kalsium serum 3-12 mg/dL. Hemodialisis
dengan dialisat rendah kalsium lebih efektif dibandingkan peritoneal dialisis.
·
Bisfosfonat
Bisfosfonat
merupakan terapi farmakologi paling efektif mengontrol hiperkalsemia; merupakan
analog pirofosfat anorganik yang menghambat resorpsi tulang. Onsetnya lambat
(2-3 hari) dengan durasi lama (beberapa minggu). Etidronat adalah bisfosfonat
pertama yang dianjurkan pada terapi hiperkalsemia. Konsentrasi kalsium mulai
turun setelah dua hari dan mencapai nadir pada hari ke tujuh. Efek hipokalsemik
mungkin berlangsung lama sampai beberapa minggu. Jika kalsium serum cepat turun
dalam 48 jam pertama, sebaiknya obat dihentikan untuk mencegah hipokalsemia.
Dapat diberikan secara intravena dengan dosis 7,5mg/kgBB lebih dari 4 jam selama
3 hari berturut-turut. Pemberian intravena dengan dosis 30mg/kgBB dalam NaCl
0,9% selama 24 jam mungkin lebih efektif. Pamidronat lebih poten daripada
etidronat. Diberikan dengan dosis 60-90 mg intravena selama 4 jam. Jika kadar
kalsium 13,5 mg/dL, diberikan 60 mg dan jika >13,5 diberikan 90 mg.
Konsentrasi kalsium serum umumnya turun dalam 2-4 hari. Dosis tunggal biasanya
efektif selama 1-2 minggu. Umumnya kadar kalsium normal setelah tujuh hari
terapi. Asam zolendronat acid merupakan bisfosfonat paling umum saat ini,
karena dapat diberikan intravena sehingga mencegah kerusakan esofagus pada
dosis oral dan mungkin efeknya lebih lama dibandingkan pamidronat. Dosis harus
disesuaikan pada penderita disfungsi ginjalberdasarkan laju filtrasi glomerulus
(LFG)nya. Jika LFG > 60 mL/mnt diberikan 4 mg, 50 - 60 mL/ mnt : 3,5 mg, 40
- 45 mL/mnt : 3,3 mg, 30 - 39 mL/mnt : 3 mg, dan jika <30 mL/mnt belum ada
data. Dianjurkan menghentikan obat apabila terjadi peningkatan konsentrasi
kreatinin serum ≥ 0,5 mg/dL di atas nilai normal atau > 1 mg/dL pada
penderita dengan kreatinin serum ≥ 1,4 mg/dL. Bisfosfonat dihubungkan dengan
toksisitas yang bermakna, meliputi sklerosis glomerulus fokal dengan pamidronat
dan acute kidney injury dengan asam zolendronat. Toksisitas paling banyak
pada penderita chronic kidney diseases sebelumnya atau melebihi dosis
yang dianjurkan. Pemberian bisfosfonat jangka lama pada penderita keganasan
khususnya multipel mieloma dan kanker payudara, dihubungkan dengan
osteosklerosis rahang (Ginayah,
2011).
11. ASUHAN KEPERAWATAN
A.
PENGKAJIAN
Tidak
terdapat manifestasi yang jelas tentang hiperparatiroidisme dan hiperkalsemia
resultan. Pengkajian keperawatan yang rinci mencakup :
1) Riwayat
kesehatan klien
a. Adanya riwayat ISK atau pernah Obstruksi
batu
b. Makan dan Minum
c. Adanya riwayat
klien mengkonsumsi makan/minuman diet tinggi kalsium/susu
d. Adanya riwayat Penyakit Ginjal
2) Riwayat
penyakit dalam keluarga
3) Keluhan
utama, antara lain :
a) Sakit kepala, kelemahan, lethargi dan kelelahan otot
b) Gangguan pencernaan seperti mual, muntah, anorexia,
obstipasi, dan nyeri lambung yang akan disertai penurunan berat badan
c) Depresi
d) Nyeri
tulang dan sendi.
4) Riwayat penyakit
sekarang
Pasien
tampak lemah,biasanya adanya peningkatan ukuran kelenjar tiroid, anoreksia,
obstipasi, dan nyeri lambung yang akan disertai penurunan berat
badan,Depresi,Nyeri tulang dan sendi.
5) Riwayat trauma/fraktur
tulang
6) Riwayat radiasi
daerah leher dan kepala
7)
Pemeriksaan fisik yang mencakup :
a) Observasi dan palpasi adanya deformitas
tulang
b) Amati warna kulit, apakah tampak pucat
c) Perubahan
tingkat kesadaran
8) Bila kadar kalsium tetap
tinggi, maka akan tampak tanda psikosis organik seperti bingung bahkan koma dan
bila tidak ditangani kematian akan mengancam
9) Pemeriksaan
penunjang, termasuk :
a)
Pemeriksaan laboratorium : dilakukan untuk menentukan kadar kalsium dalam
plasma yang merupakan pemeriksaan terpenting dalam menegakkan kondisi
hiperparatiroidisme. Hasil pemeriksaan laboratorium pada hiperparatiroidisme primer
akan ditemukan peningkatan kadar kalsium serum; kadar serum posfat anorganik
menurun sementara kadar kalsium dan posfat urine meningkat.
b) Pemeriksaan radiologi, akan tampak penipisan tulang dan terbentuk kista
dan trabekula pada tulang.
B. ANALISA DATA
DATA
|
ETIOLOGI
|
MASALAH KEPERAWATAN
|
DO:
· Adanya
peningkatan kadar kalsium serum
· Adanya
deformitas pada tulang
DS:
· klien
sering mengeluhkan nyeri pada tulang
· Klien
mengatakan jarang melakukan olahraga
|
Meningkatnya
sekresi hormone paratiroid
↓
Hiperparatiroid
↓
Resorpsi
tulang
↓
Pemecahan
tulang oleh osteoclast
↓
Pelepasan
kalsium ke darah
↓
Hiperkalsemia
↓
Degenerasi
tulang
↓
Mudah
fraktur
↓
Risiko
cedera
|
Risiko
Cedera
|
DO:
·
kelemahan otot menurun,
kekakuan pada ekstremitas, aktivitas dibantu keluarga dan perawat.
DS:
·
menyatakan merasa lemah,
menyatakan merasa letih.
|
Meningkatnya
sekresi hormone paratiroid
↓
Hiperparatiroid
↓
Resorpsi
tulang
↓
Pemecahan
tulang oleh osteoclast
↓
Pelepasan
kalsium ke darah
↓
Hiperkalsemia
↓
kelemahan
|
Intoleransi
aktivitas b.d kelemahan
|
DO :
·
Tekanan darah klien
meningkat
DS :
· Klien
mengeluhkan sering buang air kecil
· Klien
mengatakan sebagai pengonsumsi susu berkalsium
· Klien
mengatakan sering mangalami rasa haus
· Klien
mengeluhkan nyeri pada ginjal
· Klien
juga mengeluhkan rasa lemah
|
Meningkatnya
sekresi hormone paratiroid
↓
Hiperparatiroid
↓
Mengurangi
klirens kalsium melalui ginjal
↓
Insufisiensi
renal
↓
Poliuria
↓
Dehidrasi
↓
Kekurangan
volume cairan
|
Kekurangan volume
cairan b. d kehilangan cairan aktif
|
DO :
· Nadi
dan RR klien meningkat
· Respon
non verbal klien memperlihatkan respon nyeri
DS :
· Klien
mengeluh nyeri pada daerah perut
· Lakukan
pengukuran kualitas nyeri klien menggunakan skala nyeri
|
Meningkatnya
sekresi hormone paratiroid
↓
Hiperparatiroid
↓
Reabsorbsi
kalsium di usus
↓
Ulkus
peptikum
↓
Nyeri
lambung
|
Nyeri akut b.d agen cedera biologis
|
DO :
-
DS :
· Klien
menyatakan sering buang air kecil di malam hari
· Klien
menyatakan BAK tidak puas
|
Hiperparatiroid
¯
Pembentukan
vit.D di ginjal dan rangsangan reabsorbsi kalsium di ginjal
¯
Penurunan
ekskresi kalsium di ginjal
¯
Insufiensi
ginjal
¯
nokturia
|
Gangguan eliminasi
Urin
|
C. INTERVENSI
1. Risiko Cedera
Tujuan
: Setelah dilakukan asuhan keperawatan 3x 24 jam resiko cedera pasien dapat
terkontrol.
KH
:
1. Pengetahuan
tentang resiko cedera yang dialami klien meningkat
2. Klien
mampu memodifikasi gaya hidup untuk mengurangi resiko cedera
3. Klien
mampu mengenali factor resiko cedera dari lingkungan
4. Serum
Ca dalam batas normal (8.4-10.2 mg/dL atau 2.1-2.8 mmol/L)
Intervensi
:
1. Monitor
hasil lab serum kalsium klien
2. Anjurkan
untuk keluarga selalu menemani pasien
3. Pasang
siderail tempat tidur
4. Berikan
penjelasan pada pasien dan keluarga tentang perubahan status kesehatan dan penyebab
dari penyakitnya
5. Diskusikan
dengan klien mengenai kondisi yang dapat mengakibatkan cedera
6. Hindarkan
klien dari lingkungan yang berbahaya.( Misalnya jangan member klien kamar tidur
dilantai 2 rumah).
7. Ajarkan
klien untuk menghindari agen cedera
8. Beri
penerangan yang cukup bila klien berada dalam suatu ruangan
9. Pindahkan
barang- barang berbahaya yang dapat
meningkatkan resiko cedera. (misalnya jangan meletakan kursi disembarang
tempat)
10.
Kolaborasi dengan ahli gizi
mengenai asupan makanan dan minuman yang dianjurkan
11.
Kolaborasi dengan dokter
terkait terapi farmakologi
12.
Monitor pemberian terapi
farmakologi
2. Intoleransi aktivitas b.d
kelemahan
Tujuan:
setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 4x24 jam, toleransi aktivitas
klien akan meningkat.
KH: - Menunjukkan kebiasaan rutin
-
Klien dapat beraktivitas
secara mandiri
Intervensi:
-
Tingkatkan pelaksanaan ROM
pasif sesuai indikasi untuk mengurangi ketegangan otot
-
Bantu klien untuk
mengidentifikasi pilihan-pilihan aktivitas
-
Buat jadwal latihan
aktivitas secara bertahap untuk klien dan berikan periode istirahat
-
Kolaborasikan ahli
fisioterapi
-
Berikan support dan libatkan
keluarga dalam program terapi
-
Monitor lokasi nyeri selama
aktivitas
-
Batasi stimulus lingkungan
-
Batasi pengunjung
3. Kekurangan volume cairan b.d
kehilangan cairan aktif
Tujuan :
Setelah dilakukan
asuhan keperawatan selama 1x24 jam kebutuhan cairan atau hidrasi pasien
terpenuhi
KH :
1.
Tidak
ada tanda tanda dehidrasi (elastisitas turgor kulit baik, membran mukosa
lembab, tidak ada rasa haus yang berlebihan)
2.
TTV
dalam batas normal (TD: 100/60-120/90 mmHg, Nadi 80-100x/mnt, RR 16-20x/mnt,
suhu 36,50C-37,50C)
No
|
Indikator
|
1
|
2
|
3
|
4
|
5
|
1
|
Membran mukosa lembab
|
|
|
|
ü
|
|
2
|
Turgor kulit baik
|
|
|
|
ü
|
|
3
|
Rasa haus berkuranng
|
|
|
|
ü
|
|
4
|
TTV dalam batas normal
|
|
|
|
ü
|
|
Keterangan
1 = Severe
2 = substantially
3 = Moderately
4 = Mild
5 = No
Intervensi
:
1. Kolaborasikan
pemberian cairan intarvena
2. Pertahankan
catatan intake dan output cairan yang akurat
3. Monitor
masukan makanan dan cairan dan hitung intake kalori harian
4. Monitor
vital sign (tekanan darah) klien secara adekuat
5. Catat
adanya perubahan dari tekanan darah
6. Pantau perubahan tanda-tanda vital (TD, nadi,
suhu, RR).
7. Monitor pengisian kapiler (CRT ≤3 dtk)
8. Monitor status hidrasi: turgor kulit (pitting
edema) dan membran mukosa (inspeksi)
3. Nyeri akut
b.d agen cedera biologis
Tujuan :
setelah dilakukan tindakan keperawatan selama
1x24 jam nyeri yang dirasakan klien berkurang
KH:
1. Klien mengatakan nyerinya berkurang
2. Ekspresi klien menunjukkan nyeri berkurang
3. TTV dalam batas normal (TD: 100/60-120/90
mmHg, Nadi 80-100x/mnt, RR 16-20x/mnt, suhu 36,50C-37,50C)
NO
|
INDIKATOR
|
1
|
2
|
3
|
4
|
5
|
1
|
Reported pain
|
|
|
|
ü
|
|
2
|
Respiratory rate
|
|
|
|
ü
|
|
3
|
Facial expression of pain
|
|
|
|
ü
|
|
4
|
Radial pulse rate
|
|
|
|
ü
|
|
Keterangan :
1. Severe
2. Substantial
3. Moderate
4. Mild
5. None
Intervensi:
1.
Gunakan teknik komunikasi terapeutik untuk
mengetahui pengalaman nyeri pasien
2.
Observasi reaksi nonverbal dari ketidaknyamanan
3.
Monitor perkembangan nyeri (meliputi lokasi,
karakteristik, durasi, frekuensi, kualitas dan factor resipitasi)
4.
Monitor TTV
5.
Kontrol lingkungan yang dapat menpengaruhi nyeri
seperti suhu ruangan, pencahayaan dan kebisingan
6.
Kurangi faktor presipitasi yg meningkatkan nyeri
7.
Kolaborasi pemberian analgesik untuk mengurangi
nyeri
8.
Tentukan analgetik pilihan, rute pemberian dan dosis
optimal.
9.
Monitor TTV sebelum dan sesudah pemberian analgetik.
10. Ajarkan teknik non
farmakologis untuk mengurangi nyeri (kompres hangat, masase, dan spiritual)
11. Minta keluarga untuk
memberikan support pada klien
12. Tingkatkan istirahat
13. Evaluasi keefektifan
control nyeri
4. Gangguan eliminasi Urin
Tujuan
: Setelah dilakukan tindakan
keperawatan selama 3 x24 jam
diharapakan pola eliminasi urin klien normal
KH:
1. Kandung kemih kosong secara penuh
2. Tidak ada residu urin > 100-200cc
3. Intake cairan dalam rentang normal
Intervensi:
1. Monitor tanda-tanda vital
2. Monitor intake dan output
3. Monitor derajat distensi bladder
4. Instruksikan pada klien dan keluarga untuk
mencatat output urin
5. Pertahankan catatan intake dan output yang
akurat
6. Kolaborasikan
penggunaan katerisasi
jika perlu
DAFTAR
PUSTAKA
Baughman, Diane C. 2000. Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta: EGC
Brooker, Chris. 2008. Ensiklopedia Keperawatan. Jakarta: EGC
Corwin, Elizabeth J. 2009. Patofisiologi : Buku Saku. Edisi 3. Jakarta:
EGC
Essentials of Dental Radiography and Radiology 3rd
Edition, Eric Whaites.
Ganong.1998.Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Jakarta: EGC
Ginayah,
Mir’atul dan Harsinen Sanusi. 2011. Hiperkalsemia. Continuing Medical
Education. CDK 184/Vol.38 no.3/April 201. Subbagian Endokrinologi &
Metabolik Bagian Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas
Hasanuddin/ Rumah Sakit Dr Wahidin Sudirohusodo, Makassar, Sulawesi Selatan,
Indonesia
Kozier, et al.1993. Fundamental of nursing. California: Addison-Wesley Publishing
Company
Manuba,
Manuba Chandranita, Manuba Fajar. 2007. Pengantar
Kuliah Obstetri. Jakarta : EGC
Rumahorbor,
Hotma.1999. Asuhan Keperawatan Klien
dengan Gangguan Sistem Endokrin.Jakarta:EGC.
Smeltzer, Suzzanne C.2001. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner & Suddarth Ed.8.Jakarta:
EGC.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar